Keranjang 0

ORANG BUKIT “LEBIH BANJAR” DIBANDING DAYAK?

ORANG BUKIT “LEBIH BANJAR” DIBANDING DAYAK?

“Orang Banjar Meratus” merupakan alternatif nama yang penulis wacanakan untuk menyebut orang Bukit atau yang sekarang populer disebut etnis Dayak Meratus. Pilihan nama Banjar Meratus dilatarbelakangi beberapa alasan. Pertama, selaras dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial politik, nama sebuah etnis bisa saja berubah dan diterima dengan baik oleh etnis yang bersangkutan. Sebut saja nama Dayak Meratus yang populer dalam beberapa tahun terakhir sebagai sebutan lain dari etnis Bukit, terutama sejak meletusnya konflik antara etnis Madura dan etnis Dayak di Kalimantan Tengah, dimana etnis Bukit menunjukkan rasa solidaritasnya kepada etnis Dayak dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari Dayak dengan nama Dayak Meratus.

Kedua, bukankah orang Bukit yang tinggal di pegunungan Meratus sebenarnya “lebih Banjar” dibanding Dayak? Hal itu dapat dilihat dari beberapa relasi antara keduanya (Bukit-Banjar), seperti dalam perspektif mitologi yakni folklore yang berkembang di kalangan masyarakat Dayak Meratus dan sebagian subetnis Banjar Hulu yang menyatakan bahwa sesungguhnya etnis Banjar dan etnis Dayak Meratus mempunyai hubungan kekerabatan atau “badangsanak” karena berasal dari rumpun yang sama.

Secara umum tulisan ini bertujuan memaparkan relasi antara etnis Dayak Meratus dan etnis Banjar ditinjau dari perspektif sejarah, bahasa, dan budaya lokal, yang menunjukkan Dayak Meratus layak —-meski dengan beberapa catatan— untuk disebut bagian (subetnis) dari etnis Banjar dengan nama subetnis Banjar Meratus.

LINTASAN SEJARAH ASAL USUL ETNIS

Hingga saat ini belum ada telaah dokumen lintasan sejarah yang memadai tentang rekonstruksi kesejarahan asal-usul kelompok etnis yang bermukim di Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, deskripsi latar belakang kesejarahan etnis Banjar dan etnis Dayak Meratus lebih banyak berupa asumsi-asumsi yang didasarkan kepada data-data yang masih terbatas (Ideham, dkk (ed.), 2003).

Asumsi-asumsi yang barangkali menimbulkan kontroversi bagi asumsi lainnya itu, seringkali merujuk kepada Hikayat Banjar, yang isinya sarat dengan unsur-unsur sastra yang imajinatif, mitos, dan pandangan hidup yang bercampur baur dengan unsur faktual dari peristiwa masa lalu. J.J. Ras menggolongkan Hikayat Banjar sebagai “a malay myth of origin”, yang artinya realibilitas data sejarahnya diragukan, tetapi sebagai teks sastra yang diproduk ketika masalah etnisitas belum menjadi issue hangat seperti sekarang ini, ia adalah sumber valid dan dapat diperhitungkan (Mahin, 2004).

Etnis Banjar

Etnis Banjar adalah orang-orang Banjar yang bertempat tinggal di Kalimantan Selatan. Mereka terdiri atas beberapa subetnis, yakni subetnis Banjar Kuala, subetnis Banjar Hulu (Pahuluan), maupun subetnis Batang Banyu. Namun siapakah orang Banjar itu?

Atas dasar pola genealogis masyarakat Banjar, maka istilah Banjar sebenarnya bukan sekedar konsep etnis semata, namun juga dikaitkan dengan konsep politis, sosiologis, dan agamis. Banjar adalah juga sebuah nama kerajaan Islam yang pada awalnya terletak di Banjarmasin. Dalam proses pembentukan Kerajaan Banjar maka Banjar Masih dengan pelabuhan perdagangannya yang disebut orang Ngaju sebagai Bandar Masih (Bandarnya orang Melayu) dijadikan sebagai ibukota kerajaan Banjar yang kemudian menjadi kota Banjarmasin.

Dalam Hikayat Banjar (Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1999/2000) disebutkan bahwa proses “pembanjaran” itu bermula dari datangnya saudagar Ampu Jatmika di pulau Hujung Tanah, mereka dan keturunannya kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjarmasin. Dalam hikayat itu, ditemui istilah-istilah yang disandingkan dengan kata “Banjar” yang pada umumnya mengacu kepada pengertian wilayah kesultanan, yaitu wilayah kerajaan dimana penduduknya disebut orang Banjar dan rajanya disebut Raja (Sultan) Banjar (Usman, 1995).

Kerajaan Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau Kesultanan Banjar. Pengaruh Kesultanan Banjar melebar meliputi gabungan seluruh wilayah yang saat ini dikenal sebagai Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan sebagian Kalimantan Timur bahkan ada beberapa daerah yang pada saat ini masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Ideham, dkk. (ed.), 2003).

Kerajaan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan kesatuan wilayah geografis yang dihuni oleh suatu bangsa dengan nama bangsa Banjar. Ketika kesultanan jatuh ke dalam kekuasaan kolonial Belanda, maka status bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lagi disebut sebagai suatu bangsa (nation) akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar (Usman, 1989).

Ada yang mengatakan bahwa masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan bukan semata etnis melainkan juga grup, karena secara sosiologis merupakan percampuran berbagai etnis kebudayaan, seperti kebudayaan Melayu, Bukit, Ngaju, dan Ma’anyan. Akan tetapi, memang diakui bahwa unsur Melayu terlihat lebih dominan, sebagaimana tercermin antara lain dari faktor kebahasaan.

Etnis Banjar juga sebuah etnis yang dikonstruksikan sebagai sukubangsa yang beragama Islam sebagaimana antara lain dilekatkan oleh Alfani Daud (1997) maupun Noerid Haloei Radam (1996). Namun konstruksi itu mengandung sejumlah persoalan karena asumsi atau pendekatannya yang bersifat primordialisme, kasus seperti “menjadi orang Banjar setelah memeluk agama Islam” yang telah terjadi sejak Islamisasi di awal pembentukan Kesultanan Banjarmasin, kini masih terjadi pada orang Dayak yang memeluk agama Islam.

Etnis Dayak Meratus

Etnis Dayak Meratus adalah nama kolektif sukubangsa yang mendiami perbukitan pegunungan Meratus di daerah pedalaman Provinsi Kalimantan Selatan. Dahulu dan dalam sebagian besar publikasi ilmiah, orang Dayak Meratus lazim disebut orang (Dayak) Bukit.

Sebelum sebutan “Dayak” diterima secara umum untuk menggambarkan kesatuan etnis dan kesatuan kebudayaan yang dianggap asli Kalimantan, maka dahulunya tidak disebut dengan nama Dayak melainkan disebut berdasarkan nama tempat kediaman komunitas mereka yang umumnya ditepian sungai, seperti orang Barito, orang Kapuas, orang Kahayan, orang Katingan, orang Mentaya dan sebagainya. Atau orang Bukit (atau bubuhan orang Loksado, orang Alai, orang Labuhan, dan sebagainya) sebagai sebutan kelompok masyarakat yang tinggal di bukit-bukit pegunungan Meratus.

Orang Dayak Meratus merupakan kelompok masyarakat yang mendiami wilayah berbukit atau bergunung di Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan. Mereka mendiami kawasan hutan di Kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Tanah Laut dan Kotabaru. Tidak diketahui dengan pasti tentang jumlah penduduk etnis ini. Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk tahun 2000 tidak secara khusus melakukan pendataan terhadap etnis ini, dan hanya menempatkannya dalam kelompok “suku-suku lainnya” (BPS Kalimantan Selatan, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian tahun 1979 yang dilakukan oleh Noerid Haloei Radam (1996)kelompok etnis ini terdiri lebih kurang 12.000–15.000 jiwa. Mereka mengembangkan sistem kekerabatan yang disebut bubuhan yakni suatu keluarga luas utrolokal atau virilokal. Satu bubuhan biasanya tinggal di dalam suatu rumah panjang yang dinamakan balai atau balai adat, yakni bangunan yang berukuran 10 hingga 15 meter lebar dan 50 meter panjangnya.

Mereka memiliki kebudayaan yang dinamakan kebudayaan huma. Dalam kebudayan ini,mata pencaharian hidup mereka dilakukan dengan cara meramu hasil hutan, berburu binatang, dan bercocok tanam dengan cara berladang berpindah, namun tetap dalam koridor kearifan lokal yang mereka warisi secara turun temurun.

RELASI DAYAK-BANJAR

Relasi 1: Hipotesis Asal Muasal Orang Banjar

Berbagai kajian para pakar yang didasarkan kepada folklore seperti yang dilakukan Noerid Haloei Radam, menunjukkan bahwa orang Dayak Meratus memiliki “hubungan kekerabatan” terutama dengan orang Banjar Hulu. Kesimpulan kajian itu didasarkan kedekatan religi, bahasa, dan simbol-simbol yang menunjukkan sinkretisme di antara keduanya. Kedekatan hubungan itu dapat dilihat dari Hipotesis Kaum Cerdik Tempatan (Local Genius) yang memungkinkan peranan hubungan etnis Dayak Meratus dalam pembentukan etnis dan budaya masyarakat Banjar.

Menurut Noerid Haloei Radam (1996) masyarakat dan budaya Banjar melalui kacamata Hipotesis Kaum Cerdik-Tempatan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sejumlah puak seperti Bukit, Ngaju atau Ma’anyan telah beberapa lama mendiami kawasan hilir DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito dan atau DAS Martapura. Boleh jadi sejak zaman batu besar (Kebudayaan Megalitik) mereka telah mendiami kawasan tersebut.

Di antara puak-puak itu, ada yang masih tetap pada tahap perkembangan peramu-pemburu (collecting-hunting society: band society) dan ada pula yang sudah mampu mendomestikkan tumbuhan dan hewan liar (cultivating society: tribal society). Corak masyarakat yang terakhir ini dinamakan masyarakat peladang.

Kontak yang lebih intensif dengan dunia luar kemungkinan terjadi lebih luas pada masyarakat peladang dibanding masyarakat peramu-pemburu. Adanya kontak mengkibatkan pranata-pranata lebih berkembang dan karenanya sistem sosialnya menjadi lebih kompleks. Sejumlah inovator yang ada dan berkembang sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Mereka dinamakan Kaum Cerdik-Tempatan atau Local Genius.

Merekalah pembawa perubahan dalam arti yang sebenarnya yakni pembawa idea dan teknologi, narasumber dan pemilik informasi di dalam masyarakatnya, dan boleh jadi pada tahap tertentu mereka adalah pengambil kebijakan (penguasa) yang mampu pula mengontrol warga masyarakat lainnya. Kaum Cerdik-Tempatan pada salah satu puak dari ketiga kelompok etnis tersebut (Bukit, Ngaju, dan Ma’anyan) merupakan orang Banjar Asli yang dinamakan dengan Banjar Arkais dengan segala aktivitas perkembangan berikutnya.

Di antara ketiga puak itu, orang Banjar Arkais dari unsur Bukitlah yang lebih mendekati sebagai nenek moyang orang Banjar Hulu atau nenek moyang Dayak yang bermukim di pegunungan Meratus.

Masyarakat Banjar Arkais tersebut mampu beradaptasi dengan segala perubahan dari dunia luar, mengadopsi, mengolah dan mengembangkan informasi khususnya yang berasal dari pusat-pusat kebudayaan yang pada masa itu menjadi panutan dan kekuatan yang mengontrol kawasan Asia Tenggara yakni Melayu Budha (Sriwijaya) yang dilanjutkan dengan Melayu Islam (Malaka dan Riau).

Akibat dari hubungan yang intensif itu, maka muncullah Bahasa Banjar Arkais yang kosa katanya lebih banyak berasal dari Bahasa Melayu Kuno. Bahasa Banjar Arkais itu berkembang selanjutnya menjadi Bahasa Banjar Modern akibat sentuhan yang intensif oleh Kebudayaan Melayu Islam melalui tulisan-tulisan Arab-Melayu.

Kaum Cerdik-Tempatan pada masanya tidak saja mengadopsi bahasa, tetapi juga arsitektur dan seni yang mereka ekspresikan pada arsitektur bangunan rumah tinggal dan rumah ibadah (masjid).

Dengan demikian, Hipotesis Kaum Cerdik-Tempatan menempatkan kekuatan kelompok tertentu di dalam masyarakatnya sendiri untuk maju dan berkembang, sedangkan kekuatan yang lain yang berasal dari luar (kebudayaan lain) di antaranya masyarakat dan kebudayaan Melayu hanyalah faktor stimulan.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Noerid Haloei Radam, menurut Alfani Daud(1997) orang Banjar modern itu terbentuk dari adanya pertemuan dan percampuran antar kelompok Dayak Bukit, Ma’anyan dan Ngaju yang menghasilkan tiga kelompok subetnis, yaitu Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Pahuluan. Ketiga subetnis inilah yang sekarang disebut Etnis Banjar.

Lebih lanjut Alfani Daud menyatakan bahwa pembentukan masyarakat dan kebudayaan Banjar Modern (modern dalam pengertian historis) tentunya didahului oleh masyarakat dan kebudayaan Banjar Arkais yang bukan berasal dari puak Ngaju atau puak Ma’anyan atau gabungan keduanya. Lalu siapakah yang disebut Banjar Arkais? Mengenai hal ini, etnis Ngaju dan Ma’anyan mempunyai ceritera suci yang menginformasikan bahwa diri mereka berasal dari langit yang turun ke bumi melalui gunung bukit raya dan gunung bukit baka di sentral pulau Kalimantan. Sebaliknya etnis Bukit sekarang ini, bersandar pada mantera suci yang mereka selalu utarakan pada kesempatan ritual tertentu, menginformasikan bahwa nenek moyang mereka dahulunya berasal dari tepian sungai dan pesisir pantai.

Sumber-sumber tradisi lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut mengatakan bahwa orang Dayak Meratus adalah orang-orang pelarian dari daerah-daerah di sepanjang bandar-bandar atau pantai Kalimantan Selatan. Mereka menyingkir ke pegunungan Meratus, guna menghindarkan diri dari berbagai konflik seperti karena tidak mampu berinteraksi, beradaftasi, atau boleh jadi pula mereka tidak mau memasuki agama Islam. Kasus tidak mau ber-Islam dan kemudian menyingkir ke pegunungan Meratus, tercermin pada mitos Intingan dan Dayuhan, sebagaimana paparan berikut.

Relasi 2: Hubungan Genealogis

Dalam foklore berupa mitos yang berkembang di kalangan etnis Dayak Meratus di daerah pegunungan Meratus Kabupaten Tapin disebutkan bahwa antara orang Meratus dan orang Banjar Hulu khususnya berasal dari satu rumpun induk yang sama yakni keturunan dua kakak beradik (bahasa Banjar: dua badangsanak) Intingan (Palui Anum) dan Dayuhan (Palui Tuha). Keduanya berasal dari desa Banua Halat. Versi dari Dayak Meratus di Loksado mereka bernama Bambang Basiwara dan Si Ayuh (Sandayuhan).

Secara administratif, desa Banua Halat Kiri berbatasan dengan desa Keramat di sebelah timur, desa Paul di sebelah barat, desa Jingah Babaris di sebelah utara, dan Kelurahan Rantau Kanan di sebelah selatan. Desa Banua Halat Kiri mempunyai luas wilayah sekitar 250 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 721 jiwa (data tahun 1997), sedangkan ketinggian dari permukaan laut adalah 8 meter dengan keadaan suhu rata-rata 32 derajat celcius (Sarwono, dkk., 1996/1997).

Dalam terminologi penduduk Banua Halat Kiri dan sekitarnya, “banua” berarti kampung, sedangkan “halat” berarti perbatasan. Secara harafiah Banua Halat adalah kampung atau desa batas/perbatasan.

Menurut cerita penduduk setempat, dinamakan Banua Halat karena di masa awal perkembangan Islam di Kalimantan Selatan khususnya di daerah merupakan kampung yang membatasi tempat tinggal masyarakat yang memeluk agama Islam dengan masyarakat yang tetap bertahan dengan kepercayaan lamanya.

Di desa Banua Halat Kiri, terdapat sebuah Masjid Tua yang riwayatnya berkaitan dengan kisah Intingan dan Dayuhan, yakni Masjid Tua “Al Mukarramah” di desa Banua Halat Kiri, Kecamatan Tapin Utara, yang berjarak sekitar 2 km ke arah barat dari kota Rantau ibukota Kabupaten Tapin.

Tidak diketahui secara pasti kapan Masjid Tua Banua Halat dibangun dan siapa pula pendirinya, karena sumber tertulis tentang pendirian masjid ini tidak didapatkan atau memang tidak ada.

Dalam mitologi orang Dayak Bukit di pegunungan Meratus daerah Tapin, disebutkan bahwa Masjid Tua “Al Mukarramah” Banua Halat didirikan oleh Intingan. Menurut mitos itu, Intingan dan Dayuhan sebagai dua orang bersaudara kandung harus berpisah tempat tinggal karena berbeda kepercayaan (Bondan, 1953).

Ketika Islam masuk ke Banua Halat, Intingan tertarik dan menyatakan meninggalkan kepercayaan lamanya dengan memeluk agama Islam. Sedangkan saudaranya Dayuhan beserta keluarga dan pengikutnya yang tetap berkeinginan mempertahankan kepercayaan dan adat istiadat nenek moyangnya, berpindah ke daerah terpencil di pegunungan Meratus. Keturunan Dayuhan membangun desa-desa di Mancabung, Harakit, Balayawan, dan Danau Darah di pegunungan sekitar Tapin.

Sedangkan Si Intingan bersama keluarga dan pengikutnya tetap bertahan di Banua Halat, mereka mengembangkan komunitas masyarakat muslim di Banua Halat dan sekitarnya. Karena dianggap memiliki keluasan pengetahuan keagamaan, maka Intingan ditokohkan para pengikutnya dengan panggilan Datu Ujung. Atas prakarsa Datu Ujung maka dibangunlah masjid di Banua Halat, Parigi, Gadung Keramat dan Lokpaikat.

Desa Banua Halat menjadi daerah perbatasan antara kedua bersaudara tersebut, namun demikian Dayuhan tetap menganggap Intingan sebagai saudara kandungnya dengan panggilan “Dangsanak” yang artinya “Saudara Kandung”. Sekarang pun orang-orang Dayak Meratus yang berasal dari desa-desa di pegunungan Meratus sekitar Tapin yang datang ke kota Rantau, menyempatkan diri berziarah ke Masjid Banua Halat dan mereka menyapa warga masyarakat Tapin yang tinggal di dataran rendah dengan sebutan “dangsanak”.

Relasi 3: Kesamaan Bahasa

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa bersandar pada mitos, mantera suci, dan berbagai bentuk peralatan upacara menunjukkan bahwa orang Dayak Meratus yang sekarang bermukim di pegunungan Meratus, nenek moyang mereka dahulunya berasal dari tepian sungai dan pesisir pantai.

Kesimpulan itu juga didukung oleh alat pelacak utama perkembangan suatu kaum yakni fakta-fakta kebahasaan. Bahasa Banjar mempunyai dua dialek bahasa yaitu Bahasa Banjar Kuala dan Bahasa Banjar Hulu.

Menurut Noerid Haloei Radam (1987) bahasa orang Dayak Meratus dan bahasa Banjar (Hulu) merupakan dua bahasa yang berasal dari satu rumpun yang sama yakni Bahasa Banjar Arkais. Atau dalam istilah lain bahasa yang digunakan orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu hanyalah dua intonasi (aksen) dari satu bahasa yakni Bahasa Banjar Hulu.

Pernyataan Radam itu selaras dengan pendapat para ahli lainnya seperti Hammer (dalam Cense dan Uhlenback, 1958), Aspandi Adul (1975), dan Abdurrahman Ismail dkk., (1979), dan Alfani Daud (1997) yang pada intinya menyatakan hal sama (Sulistyowati, 2005).

Hasil penelitian kebahasaan dewasa ini juga menjelaskan bahwa Bahasa Banjar Arkais adalah bahasa yang tertua di samping Bahasa Melayu Sambas, Melayu Brunei dan Bahasa Iban (Radam, 1996). Meski disadari pula bahwa Bahasa Banjar juga serumpun dengan Bahasa Melayu dan kedua-duanya termasuk ke dalam rumpun kebahasaan yang besar yakni Bahasa Austronesia.

Di segi kebahasaan terdapat fakta-fakta berupa istilah-istilah/nama peralatan upacara etnis Dayak Meratus yang merujuk pada kehidupan di muara sungai atau di daerah pesisir pantai, seperti: perahu malayang (perahu terapung-apung), tihang layar (tiang layar), dan balai bajalan (balai berpindah-pindah). Orang Dayak Meratus juga mempergunakan istilah yang berkonotasi dengan sungai dan laut untuk menyebut huma sebagai pulau (laut tempat berlayar, dan laut tempat memohon. Mereka menyebut kegiatan menanam padi sebagai kegiatan mengantarkan padi tulak balayar (pergi berlayar), dan kegiatan balian batandik (balian menari) dalam upacara ma’anyanggar Banua (upacara melindungi kampung dari marabahaya) disebut balian bakalaut (balian pergi ke laut).

Relasi 4: Sistem Keyakinan

Alasan kultural yang menunjukkan bahwa orang Dayak Meratus bukanlah “orang gunung” sebagaimana yang banyak disangkakan orang selama ini adalah sistem keyakinan.

Dalam hal sistem keyakinan, Noerid Haloei Radam mencatat bahwa di kalangan orang Dayak Meratus Bukit dikenal adanya tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat tinggal, yaitu Siasia Banua, Bubuhan Aing, dan Kariau yang umumnya berkaitan dengan daerah perairan pantai yang sekarang dihuni oleh orang Banjar Hulu dan Banjar Kuala.

Hasil penelitian Noerid Haloei Radam menunjukkan bahwa hingga sekarang belum ditemukan folklore orang Dayak Meratus berupa mite, legenda, dan dongeng yang di dalamnya berisi petunjuk bahwa nenek moyang orang Dayak Meratus berasal dari daerah pegunungan tertentu. Justru sebaliknya, banyak sekali ditemukan folklore orang Meratus yang menurut hasil kajian/analisis Radam justru berisi petunjuk bahwa nenek moyang mereka berasal dari suatu dataran rendah di suatu muara sungai yang terletak di tepi laut.

Para tetuha orang Dayak Meratus memang mengatakan bahwa nenek moyang mereka dahulunya tinggal di kampung-kampung yang sekarang ini telah dihuni oleh orang Banjar. Kepindahan nenek moyang mereka ke gunung-gunung dilakukan dengan memudiki sungai-sungai guna menghindarkan diri dari konflik sosial, politik, ekonomi, dan agama dengan orang Banjar yang lebih unggul posisi tawarnya.

Kolektif bahwa orang Dayak Meratus pada mulanya tinggal di dataran rendah juga didukung oleh Alfani Daud (1997) yang menyatakan bahwa orang Dayak Meratus yang ada sekarang kemungkinan adalah sisa-sisa dari imigran Melayu gelombang pertama (proto melayu). Mungkin sekali mereka semula tinggal di wilayah yang jauh lebih ke hilir, tetapi mereka kemudian terdesak oleh kelompok imigran yang datang belakangan (deutro melayu), dan seterusnya kelompok Banjar mendesak pula sehingga mereka akhir berada lebih jauh di pegunungan Meratus.

MERAJUT KEBERSAMAAN

Memasuki abad ke-21, intensitas konflik antaretnis, gejala disintegrasi bangsa dan separatisme bertambah meningkat di Indonesia. Makna persatuan dan kesatuan yang selama ini terjalin dengan mantap sepertinya semakin luntur. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memburuk seiring dengan krisis multidimensi, semakin memperparah keadaan, sehingga masyarakat menjadi sensitif atau mudah dipropokasi.

Bercermin kepada konflik vertikal dan horisontal yang pernah terjadi di daerah lain, seperti di Sampit Kalimantan Tengah tahun 2001, maka benturan budaya lokal baik dengan institusional, personal atau mungkin juga antar klen harus diantisipasi.

Oleh karena itu, belajar kepada peristiwa konflik antar etnis di daerah lain, maka yang perlu dilakukan adalah membangun dan memantapkan kembali kerukunan dan rasa kebersamaan yang didasarkan kepada nilai-nilai budaya luhur yang dimiliki oleh masing-masing etnis.

Peran pemerintah yang menghargai potensi-potensi masyarakat lokal dan menghindari sikap yang hegemonik sangat diperlukan, karena timbulnya konflik sebenarnya tidak hanya begitu saja dihubungkan dengan kenyataan aspek pluralistis, melainkan juga sangat erat pula kaitannya dengan manajemen pengelolaan negara dan bangsa oleh penguasa (Patji, 2000).

Sehubungan dengan itu, dikaitkan dengan era otonomi daerah sekarang ini, dimana adanya kesempatan yang lebih luas untuk menggali dan mengangkat potensi budaya sendiri, maka tema besar yang perlu digarap adalah mengangkat nilai-nilai luhur dari budaya masing-masing etnis ke permukaan.

Pemerintah Daerah perlu membangun kultur keragaman sebagai perekat kerukunan dan kebersamaan. Perbedaan harus dikaji, dipelajari dan diimplimentasikan dalam pendekatan psikososial, sehingga tidak ada kelompok etnis yang merasa tidak hidup berdampingan.

Pemerintah sebagai payung politik, harus bisa menangkap benang merahnya, dan mengelola kekuataan nilai budaya yang pluralistik tersebut sehingga dapat menjadi perekat kerukunan yang kokoh. Apa yang dapat ditangkap pemerintah mengenai pluralistik kebudayaan harus dikemas dengan menarik yang kemudian dilemparkan kembali ke masyarakat dalam bentuk paket fasilitator yang dapat memberikan kemungkinan masyarakat berinteraksi yang mengarah kepada terciptanya integrasi budaya.

Kaitannya dengan paket fasilitator, maka diperlukan adanya revitalisasi nilai-nilai budaya etnis Dayak Meratus dan etnis Banjar seperti adanya hubungan jiwa “kekerabatan” di antara keduanya yang dapat dijadikan “buhul pengikat” kerukunan dan kebersamaan antara kedua etnis.

Paket fasilitator dimaksud adalah perasaan badangsanak (bersaudara) yang bersumber kepada religisiotas kedua etnis yakni di kalangan orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu khususnya dilegendakan bahwa kedua entiti etnis ini adalah keturunan dua kakak beradik; Intingan dan Dayuhan. Perbedaan keyakinan di antara keduanya dan salah satunya ingin tetap mempertahankan adat istiadat nenek moyang, tidak menghalangi persaudaraan (badangsanak) antar keduanya.

Rasa “badangsanakan” itu wajar untuk dikedepankan, mengingat adanya “benang merah” yang menunjukkan keterkaitan etnis Dayak Meratus dalam asal pembentukan masyarakat dan kebudayaan Banjar, sebagaimana ditunjukkan melalui Hipotesis Kaum Cerdik-Tempatan, disamping fakta-fakta kebahasaan seperti bahasa yang digunakan orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu hanyalah dua intonasi (aksen) dari satu bahasa yakni Bahasa Banjar Hulu.

Selain itu, dalam hal sistem penguburan, apa yang dilakukan orang Dayak Meratus tidak berbeda dengan orang Banjar umumnya yang beragama Islam, yakni dikubur langsung ke dalam tanah. Yang membedakan keduanya, hanyalah doa-doa yang digunakan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Sistem penguburan yang dilakukan Dayak Meratus justru sangat berbeda dengan sistem penguburan sekunder yang ada pada etnis Dayak pada umumnya. Etnis Dayak Meratus, tidak mengenal “penguburan kedua” yakni upacara penghantaran roh dan wadah kubur seperti yang terdapat upacara Tiwah dengan wadah kubur bernama sandong (Dayak Ngaju), Ijambe dengantambak (Dayak Maanyan), Marabia dengan raung (Dayak Maanyan Paju Sepuluh), dan Wara dengan lungun (Dayak Lawangan).

Adanya benang merah hubungan kekerabatan dan persamaan bahasa antar kedua etnis telah menunjukkan bahwa orang Bukit atau kini disebut Dayak Meratus dalam berbagai alasan kultural lebih dekat dengan etnis Banjar dibanding dengan Dayak. Hubungan itu dapat menjadi mekanisme yang handal sebagai perajut/perekat kerukunan dan kebersamaan dan bahkan dapat menjadi solusi sosial-religius bila terjadi saling sengketa antara kedua etnis.

Jika sekarang ini, orang Dayak Meratus lebih memposisikan diri mereka sebagai bagian dari “Dayak”, maka dengan mengacu kepada “hubungan kekerabatan” yang dimiliki keduanya, posisi itu dapat digeser dengan menjadikan mereka sebagai bagian dari “Banjar” yang mempunyai kekhasan tersendiri, seperti religi, adat istiadat, dan bertempat tinggal dipegunungan Meratus. Posisi “Banjar Meratus” di sini merupakan sebuah subetnis dari etnis Banjar, di samping subetnis Banjar Kuala, subetnis Banjar Hulu (Pahuluan), dan subetnis Banjar Batang Banyu. Sebagai subetnis dari etnis Banjar, maka mereka dapat dipanggil dengan sebutan “orang Banjar Meratus” atau “bubuhan Banjar Meratus”, seperti halnya panggilan “orang atau bubuhan “ untuk subetnis Banjar Hulu, Banjar Kuala, dan Banjar Batang Banyu.

Perubahan sebutan menjadi “Orang Banjar Meratus” atau untuk lebih netralnya “Orang Meratus” bukan tidak memungkinkan. Bukankah sebutan “Dayak” untuk menyebut kesatuan etnis yang dianggap asli Kalimantan dan dikotomikan dengan Melayu atau Banjar atas dasar prasangka keagamaan yang jelas sangat tidak tepat, kini sudah umum “diterima”?

Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, dan dengan tidak menafikan pendapat yang menyatakan bahwa mitos hubungan genealogis itu sebenarnya lahir sebagai usaha atau strategi mereka untuk meraih kesejajaran/kesetaraan kultural maupun struktural dalam interaksi sosial yang lebih luas khususnya dengan etnis Banjar, maka jelaslah bahwa orang Bukit “lebih Banjar” dibanding Dayak.

Sebagai bagian dari Banjar, maka seyogyanya “hubungan genealogis” dengan subetnis lainnya dapat direvitalisasi sebagai pengikat buhul kebersamaan, pencegah konflik dan yang lebih penting lagi adalah untuk mengentaskan Orang Banjar Meratus dari keterbelakangan.(copyright©wajidi).